Tarian Bumi
Kalau sebelum-sebelum ni, setiap kali membaca novel yang berlatarkan Bali tak pernah lari dari gambaran keindahan pantainya. Novel ni buku pertama yang saya baca langsung tak menyentuh hal tersebut. Oka Rusmini membawa pembaca menyelusuri realiti kehidupan masyarakat Hindu Bali yang penuh dengan keresahan, luka dan beban serta pemberontakan kaum perempuan. Sebagai penulis yang tumbuh dalam keluarga Brahmana dan membesar dengan adat istiadat Bali, Oka Rusmini dengan beraninya menghasilkan tulisan ini dan mengkritik kebudayaannya sendiri.
Tarian Bumi
Novel ni bercerita tentang Telaga, seorang gadis Brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali, yang tumbuh dewasa di antara dua perempuan berbeza generasi dan kasta, Sagra dan Sekar.
Neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada, adalah perempuan yang berkedudukan tinggi di griya−tempat tinggal untuk keluarga bangsawan. Sagra selalu menjaga wibawanya sebagai gadis Brahmana. Namun dia terpaksa menerima kekecewaan ketika anak lelaki satu-satunya meminang Luh Sekar. Luh Sekar adalah seorang perempuan Sudra, kasta terendah di Bali, yang masa mudanya bercita-cita besar untuk berkahwin dengan lelaki Brahmana agar dapat mengangkat darjatnya. Dia bosan menjadi orang miskin, tak pernah dihargai. Demi mewujudkan keinginannya, dia berusaha menjadi penari dan tak henti-henti berdoa kepada para Dewa agar impiannya tercapai. Namun setelah berkahwin dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, hidupnya ternyata tak berubah menjadi lebih baik.
Ibu dan neneknya itu seringkali membuat Telaga menjadi serba salah. Sagra sering mengingatkan Telaga agar tidak mudah menerima nasihat dari Sekar, begitu juga sebaliknya. Neneknya selalu memberikan petua-petua kebangsawanan kepada Telaga. Sementara itu, ibunya menuntut Telaga untuk meneruskan mimpi-mimpinya menjadi perempuan tercantik, penari terbaik dan berkahwin dengan lelaki Brahmana. Konflik cerita terjadi apabila Telaga ternyata diam-diam menaruh hati pada lelaki Sudra, Wayan Sasmitha, yang sering menjadi bahan perbualan para gadis di griya. Namun lelaki tersebut tak sesuai dengan kriteria ibunya. Sama ada memilih ibunya ataupun lelaki tersebut, sama saja dengan mengorbankan separuh hidupnya.
***
Antara hal yang saya sangat suka tentang novel ni 😊;
- I judge a book by it’s cover. Cover buku dengan latar putih minimalis sebegini sememangnya salah satu kesukaan saya. Dari ilustrasi buku jak tergambar bahawa buku ni bercerita tentang perempuan yang hidup dalam belenggu adat dan budaya.
- Cerita ni sememangnya didominasi oleh watak Sagra, Sekar dan Telaga. Namun melalui tiga perempuan berbeza generasi ni, pembaca akan diperkenalkan pada kisah hidup beberapa perempuan lain yang hadir dalam perjalanan hidup mereka. Antaranya Luh Kenten yang diam-diam mencintai dan memiliki hasrat seksual pada Sekar, sahabatnya. Luh Dalem, ibu Sekar, seorang perempuan sederhana yang hidupnya dibebani derita namun tetap dijalani dengan ketabahan yang luar biasa. Juga kisah Luh Gumbreg, Luh Dampar, Luh Sadri dan lainnya. Perempuan-perempuan yang diceritakan dalam novel ni digambarkan sebagai perempuan yang menomborduakan diri sendiri demi adat dan budaya. Mereka adalah wanita yang kuat, tabah, mandiri dan memiliki jiwa yang memberontak.
- Dari buku ni, saya lebih memahami kehidupan masyarakat Hindu Bali dengan sistem kastanya, adat istiadat serta kebudayaannya yang kadang agak sukar untuk difahami dan diterima dengan logik akal. Pembaca akan memahami bagaimana kehidupan menjadi seorang perempuan Brahmana yang tumbuh dalam lingkungan griya; harus sentiasa berperilaku tertib, sopan dan beradab, pandai membuat perlengkapan agama Hindu dan sebagainya. Berbeza dengan perempuan Sudra; seringkali dipandang rendah dan sukar mendapat peluang untuk menjadi penari di Pura serta acara-acara keagamaan. Banyak gambaran tentang praktik budaya yang agak tidak manusiawi diceritakan Oka Rusmini dalam novel ni, dan seringkali kebanyakannya lebih banyak memberatkan kaum perempuan.
- Buku ni mengangkat beberapa konflik dalam kehidupan masyarakat yang kompleks dan rumit namun disampaikan dalam bahasa yang sederhana dengan sedikit sisipan loghat Bali. Sebahagian besar konflik para perempuan Bali adalah disebabkan masyarakat di sana seringkali menilai dan menentukan segala sesuatu berdasarkan kasta. Yang paling diketengahkan dalam buku ni adalah berkaitan perkahwinan. Mereka diwajibkan memilih pasangan hidup yang sedarjat. Sekiranya ia dilanggar, maka pihak perempuanlah yang paling dirugikan.
- Sesuatu yang saya paling suka dalam buku ni, di awal cerita boleh dikatakan kesemua watak lelakinya adalah spesies lelaki brengsek yang sangat tipikal untuk ditemukan dalam novel-novel bergenre feminis. Dan sesuatu yang lazim dalam novel yang berkisar tentang perempuan dan yang kuat nilai keperempuanannya, sangat sukar untuk pembaca menemukan watak lelaki baik. Tapi dalam novel ni ada. Siapa lagi kalau bukan Wayan Sasmitha, lelaki Sudra yang berjaya mencuri hati Telaga si gadis Brahmana.
- Ada banyak kata-kata menarik dalam buku ni sebenarnya. Salah satunya ialah pesan nenek Telaga dalam buku ni yang bagi saya it’s quite realistic dan sesuai diambil sebagai nasihat hidup buat wanita berkaitan pernikahan. Kerana wanita tidaklah hanya untuk dipilih, tapi juga berhak untuk memilih.
Contohnya, bila seorang gadis Sudra berkahwin dengan lelaki Brahmana, maka dia perlu menjauhi keluarga kandungnya dan mereka harus menghormati gadis tersebut sebagai seseorang yang telah memiliki darjat lebih tinggi dari mereka. Sang gadis umpama dilahirkan semula, perlu mengubah nama asal dan diberi nama yang baru. Begitu juga sekiranya gadis Brahmana berkahwin dengan lelaki Sudra. Mereka harus melakukan upacara Patiwangi sebagai tanda bahawa dia bukan lagi gadis Brahmana. Sekiranya upacara tersebut tidak dilakukan, dikhuatiri tiada ketenangan dan gadis tersebut dianggap membawa malapetaka/sial.
“Kelak, kalau kau jatuh cinta pada seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan beratus-ratus pertanyaan yang harus kausimpan. Jangan pernah ada orang lain tahu bahwa kau sedang menguji dirimu apakah kau memiliki cinta yang sesungguhnya atau sebaliknya. Bila kau bisa menjawab beratus-ratus pertanyaan itu, kau mulai memasuki tahap berikutnya. Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau harus berani menjawabnya. Kau harus yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang kaumunculkan sendiri. Setelah itu, endapkan! Biarkan jawaban-jawaban dari ratusan pertanyaanmu itu menguasai otakmu. Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil risiko.” – ms. 17
- Sedikit spoiler, dari kesemua cerita-cerita pernikahan para wanita dalam novel ni, hanya Telaga satu-satunya wanita yang berkahwin atas dasar cinta, bukan disebabkan kasta, harta, mahupun sistem. Pilihan tersebut menjadikan dia bukan lagi perempuan Brahmana tetapi Sudra.
“Kelak, kalau kau menemukan hakikat cinta laki-laki dan perempuan, kau akan mabuk. Kau tidak akan menemukan jalan untuk pulang. Kau akan tersesat, Tapi setiap kau sadari dirimu tersesat, justru itulah keindahannya.” – ms. 150
- “Kebahagiaan itu sulit digambarkan. Juga tidak bisa diucapkan. Kadang-kadang sesuatu yang tidak bernilai bisa membuat kita tentram, lalu beberapa detik kemudian terenggut lagi. Tiang tidak tahu bagaimana merasakan arti kebahagiaan itu sendiri. Terlalu mahal.”- ms. 170
teringin mau baca, and tak pernah kecewa dgn tulisan ary <3
ReplyDeleteTerima kasih! 🙂
Deleteary,
ReplyDeletejika berkesempatan, try baca Aroma Karsa by Dee Lestari..thumbs up! :)
Salah satu buku wishlist dari last year tapi tak terbeli-beli lagi. Banyak kata buku tu best. 😍😃
Delete