Lusifer! Lusifer! - Fiksi Katolik tentang Fanatisme Beragama
Lusifer! Lusifer!
Novel dibuka dengan adegan yang menegangkan, upacara malam pelepasan iblis melibatkan seorang gadis remaja 16 tahun bernama Mawarsaron. Markus Yonatan, watak utama novel ini merupakan salah seorang dari empat belas anggota Barisan Pendoa yang turut mengikuti ritual tersebut. Mereka berusaha mensucikan kembali Mawarsaron yang dikatakan dirasuk iblis segala iblis hingga menyebabkan dia berkelakuan histeria. Di tengah riuh perang antara senjata kekuatan iman melawan syaitan, Markus Yonatan ternyata memiliki misi lain pada malam tersebut. Benarkah Mawarsaron dirasuk iblis?
Novel ini kemudian membawa pembaca ke rentang tiga tahun sebelum kejadian pada malam tersebut. Tentang bagaimana Markus Yonatan ketika remaja baru saja mengalami perubahan yang cukup besar dalam hidupnya. Keluarga yang sebelumnya agak jauh dari kehidupan beragama mengalami kelahiran semula (secara rohani). Kesemua ahli keluarganya kecuali dia. Walaupun turut mengikuti proses kelahiran semula, jauh di sudut hati Markus Yonatan masih meragui keyakinan dirinya. Dia memakai topeng ketaatan sepertimana abang dan ibu bapanya walaupun dalam dirinya masih menyimpan kebingungan dan pertanyaan. Bukan hanya kebingungan dirinya, Markus Yonatan juga menyimpan rahsia-rahsia tentang orang disekitarnya sepanjang terlibat dalam aktiviti gereja.
Antara hal yang cukup menarik tentang novel ini :
- Bila menyebut genre novel keagamaan, yang pertama terbayang di fikiran kita hanyalah novel Islamik. Hal ini semestinya kerana agama Islam ialah agama yang mendominasi. Dalam konteks sastera Malaysia, Uthaya Sankar antara Sasterawan Kavyan yang saya tahu banyak menulis novel dan cerpen menggunakan karakter agama Hindu dalam ceritanya. Namun agak jarang dapat membaca karya fiksyen yang mengangkat dan menggambarkan hal-hal berkaitan ajaran Buddha dan Kristian yang ditulis dalam Bahasa Melayu. Seperti yang dinyatakan Uthaya dalam satu artikel, kalau ada pun watak beragama Kristian, ia lazim ditonjolkan secara negatif; atau akhirnya masuk Islam. Hal yang sama juga dalam konteks sastera Indonesia, novel religi lebih didominasi oleh agama yang paling dominan. Tim POST Press pada tahun 2018 memilih novel ini sebagai buku terbitan mereka yang keenam kerana Venerdi Handoyo berjaya membawakan suara yang segar dan memukau pembaca dari halaman yang pertama.
- Kalau orang lain membaca novel ini dalam sekali duduk tanpa jeda, saya membaca novel ini sambil membuka Google. Saya kadang meragui hal-hal dan unsur keagamaan yang ditulis dalam novel ni. Adakah ia hanya sekadar rekaan? Namun bila rujuk Google, istilah-istilah dan hal-hal yang ditulis benar-benar diambil dari rujukan Bible. Bahkan nama para watak yang unik dalam novel ini juga diambil dari nama yang disebut dalam kisah-kisah biblikal (Singa Yehuda, Mawar Sharon, Jonatan, Lukas, Nathanael, Matius, Abraham, Yesaya).
- Ekspektasi saya novel ni meniru The Exorcism of Emily Rose, lebih bercerita tentang exorcism dan konspirasi gereja. Ternyata saya silap. Novel ni lebih menyentuh realiti bagaimana kegagalan institusi keluarga akibat sikap ibu bapa yang terlalu fanatik terhadap agama, konservatif dalam pegangan sehingga hilangnya sisi kemanusiaan. Individu beragama yang dihadirkan ialah watak-watak yang memilih bekerja dan menabur bakti di 'ladang Tuhan' sementara keluarga sendiri diabaikan.
- Jemaat Kristus Efesia Jakarta menjadi punca konflik utama novel ini. Penulis mendeskripsikan secara detail tentang gerak kerja, program dan rutin-rutin ibadah gereja ini yang aktif dengan ibadah kerohaniannya. Tanpa unsur mencaci atau menghakimi, pembaca diajak berfikir sendiri, adakah tindakan tersebut benar atau salah? Wajar atau tidak? Gaya penceritaan penulis lebih kedengaran witty tanpa terkesan anti-agama, sedikit kelakar dan komedi gelap.
ms. 32 |
ms. 63 - 64 |
- Suka bagaimana penulis membawa pembaca menyelami konflik peribadi para watak dalam novel ini khususnya Markus Yonatan dalam menghadapi kegelisahan dan persoalan-persoalan tentang keimanan dirinya sendiri. Markus digambarkan mengalami krisis eksistensial dalam memahami dirinya dan lingkungan sekitarnya. Dia digambarkan sebagai seorang remaja yang 'lurus', yang berfikir bahawa jika orang di sekitarnya religius maka dia juga harus sama seperti mereka juga. Jika tidak, maka ada yang salah dengan dirinya. Setidaknya orang di sekitar akan menganggapnya begitu. Sampai pada satu titik dia bertemu dengan orang-orang yang ternyata membuka pandangan baru dalam hidupnya bahawa manusia hakikatnya cukup kompleks. Sepertimana Singa Yehuda, Mawarsaron, dan Lukas Natanael.
Premis novel ini sebenarnya cukup tipikal seandainya ditulis dengan sudut pandang Islam. Misalnya adegan melepaskan jin dari tubuh seseorang dengan metod ruqyah sudah biasa kita lihat dalam filem-filem horror. Namun penulis menawarkan nafas baru apabila ia dihadirkan dalam naratif agama Katolik. Novel ini memperlihatkan bagaimana situasi apabila masyarakat berpegang pada agama secara membabi buta tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan. Golongan judgemental berjubahkan 'kesucian' hakikatnya wujud dalam sebarang agama. Apabila unsur paksaan dalam mengajak seseorang individu beriman tanpa adanya hak kepada individu tersebut mempersoal dan berhubungan dengan Tuhannya sendiri, didikan agama hakikatnya gagal menawarkan rasa damai dan sejahtera sebaliknya melahirkan rasa kebencian dan mengeraskan hati.
"Apa menurut Kak SY terlalu sibuk melayani Tuhan juga tidak baik?"
"Kalau segala kesibukan itu tidak mengandung kebenaran, gagal memberikan rasa damai sejahtera, dan tidak menumbuhkan sukacita, maka Kerajaan Tuhan masih jauh dari kita."
—ms. 57
"Kalau iman membuat kita merasa tidak bercacat cela maka kita sudah jauh tersesat."
—ms. 61
Rasa mcm mau baca, as usual lepas baca ko punya reviu walaupun aq tau novel ini not my cup of tea 😂
ReplyDeleteTerima kasih Ichi!
Delete